Kawanku Bertahun-Tahun itu Bernama Depresi

Ini sudah cukup lama sampai akhirnya aku berani cerita kepada beberapa orang, bahwa aku dalam terapi obat psikiatrik. Sebagian dari mereka tampak tidak percaya, sebagian lagi menatap heran dengan sedikit penasaran, "Berati itu sama nggak sih dengan mendekati gila?"

Aku sama sekali tidak sedih, juga tidak marah dengan reaksi sebagian orang. Sebab aku yang paling tahu aku kenapa, dan merasakan bagaimana obat terapi itu bekerja.

"Bisa ketergantungan nggak sih?"

Tidak. Sama sekali tidak. Jadi, begini ceritaku hingga akhirnya aku harus meminum obat dengan nama "Noxetine"

Aku membuat janji dengan sebuah klinik psikiatrik, dan dijadwalkan bertemu seorang dokter. Hari itu adalah hari di mana aku sudah sangat bingung dengan hidupku. Gejala yang kubingungkan semenjak aku kuliah di semester 3. Sudah lama aku menyadari bahwa sedihku ini  bertahun-tahun, dan cukup menyiksa setiap malam. Aku juga sudah lama penasaran untuk pergi ke psikiater. Tetapi baru pada hari itulah aku memiliki jalan untuk hal tersebut. Alasannya dua, saat itu hingga sekarang aku berada di kota Jakarta dengan banyak pilihan dokter, dan tentu saja karena aku sudah memiliki cukup uang.

Hari pertama bertemu dokter, aku memang dalam keadaan depresi. Dokter Irene namanya. Dia menanyakan apa yang bisa dia bantu, dan aku keluar dengan hal-hal yang sudah lama ingin aku tanyakan serta minta klarifikasi. Intinya, pada saat itu aku tidak tahu aku ini kenapa, dan berharap kalau aku masih termasuk manusia normal. Atau setidaknya aku mendapatkan kepastian kalau aku memang depresi, atau jangan-jangan gangguan mental lainnya seperti bipolar. Jika terklarifikasi, maka aku bisa mengambil jalan untuk mengatasinya.

Lucu sih kalau diingat. Datang ke klinik, bercerita sambil menangis. Sebagai dokter, tentu saja dokter Irene mengamatiku untuk mengambil data dan bukan ikut berempati seperti kawan sebagaimana pendengar yang baik tanpa bisa memberikan solusi. Jadi dia  mendorong tisu padaku, dengan mimik wajah serius sambil mencatat sesuatu.

Konsultasiku waktu itu menghabiskan waktu sekitar satu jam, dengan beberapa pertanyaanya yang to the point seperti, 1. Apa pekerjaanmu penuh tekanan? 2. sedihnya biasanya berapa lama? Ada dua minggu sekali waktu? 2. Apa kamu merasa konsentrasi sedang berkurang? Pelupa? 3. Dari sekian sampai sekian kira-kira emosi itu pada skala berapa? 

Pertanyaan-pertanyaan yang kuantitatif, dan sedikit mengorek-ngorek masa lalu sampai akhirnya keluar diagnosanya. depresi mayor.

Dokter itu lalu mengatakan padaku, dia dapat membantuku dengan terapi obat. Hanya saja aku harus mempertimbangkan soal biaya, dan dia memberi tahuku berapa harga obat tersebut. Sementara, dia kemudian memberiku kertas berisi resep. Aku harus meminum obat yang bernama noxetine itu selama dua minggu dengan dosis setengahnya. Setelah itu aku wajib kembali untuk dilakukan lagi observasi. 

Setelah mendapat resep obat itu, tentu saja aku galau berhari-hari sampai akhirnya memutuskan untuk mencobanya, dan kemudian kembali konsultasi, minum obat lagi, konsultasi, minum obat lagi. Dalam setidaknya dua bulan aku benar-benar merasakan perubahannya. Aku menyesal kenapa tidak dari dulu meminta pertolongan dokter profesional.

Aku sembuh. Aku dikatakan sembuh. Tetapi bukan saatnya untuk berhenti minum obat tersebut. Setidaknya memang ada beberapa teori yang disampaikan dokter Irene kenapa aku tidak boleh tergoda untuk berhenti.Sabar adalah kunci. Jika sabar, kamu bisa benar-benar lepas obat tersebut. lalu kemudian ada pertanyaan, bagaimana jika seandainya aku tidak sabar dan berhenti minum obat tersebut?

Well, jawabannya adalah dia akan kembali. Depresi itu kemudian kembali lagi.
Dan bahwasanya depresi memang benar adanya, sekalipun kamu orang yang beriman, kamu bisa saja mengidap depresi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Parodi Selendang Merah

Review Buku - A Beautiful Lie

Revie Buku - Kumcer PMLH