Il Postino (The Postman) – Puisi senjata
“Tapi kenal dia pun tidak, Nak! Seorang penyair harus mengenal seseorang
untuk mengail ilham. Aku tak bisa mereka-reka sesuatu dari kehampaan.” –Il
Postino, hal. 44-
Seperti biasa, aku menikmati sebuah novel dengan kesendirian. Tidak ada
lagi teman untuk diajak bercerita, betapa kagumnya aku pada kata-kata. Dan begitulah.
Novel ini kuhabiskan pada hari ini, tepat ketika kemarin aku kembali sedih. Juga
di mana rasanya aku sudah rindu menghabiskan novel di antara tumpukan
teori-teori lingkungan yang memusingkan. *Kamu Mol, pusing mulu kerjaanya.
Adalah Mario Jimenez yang menentukan pilihan hidupnya, tak hendak
menjadi nelayan seperti ayahnya, melainkan seorang tukang pos. Melalui
pekerjaannya itulah, ia kemudian terhubung kepada satu-satunya pelanggannya,
yang rupanya amat terkenal di pulau itu, seorang penyair chile yang memenangkan
Noble sastra, Pablo Nerudo.
Aku sangat menikmati keteguhan Mario, juga keinginan sederhananya
mengenai puisi. Tidak seperti tukang pos lain yang barangkali mengharapkan tip
lebih dari pelanggan. Mario justru akan sedih ketika Pablo memberikannya tip.
Itu artinya berakhirlah pembicaraanya dengan sang penyair tersebut. Pada novel
ini semua kejadian dikemas dengan gaya yang agak humoris.
Waktu berjalan, dan surat-surat pun selalu diantarkan Mario, hingga pada
suatu waktu ia jatuh cinta pada seorang gadis di bar. Perjalanannya ke bar
dilatar belakangi oleh pembelajarannya mengenai bahasa dan puisi oleh si
penyair. Di bagian Mario mendekati Beatrice yang rupanya mendapatkan tentangan
oleh ibu beatrice, aku sangat suka dialog-dialog mengenai sebuah metafora. Betapa
setiap dialog antara ibu dan beatrice pun penuh dengan perumpamaan.
“Tidak, Ibu! Ia menatapku dan kata-kata itu meluncur dari mulutnya bagai
burung-burung!”
“Meluncur bagai burung-burung, hah? Kemasi barang-barangmu dan berangkat
malam ini! Kau tahu apa namanya kalau seseorang mengatakan sesuatu yang pernah
dikatakan orang lain tanpa mengatakan siapa yang pertama kali mengatakannya?
Plagiarisme! Mariomu itu bisa berakhir di penjara gara-gara mengatakan
kepadamu... metafora! Aku sendiri yang akan menelpon sang penyair dan
memberitahukan bahwa tukang posnya mencuri puisi-puisinya.”
-Hal. 61 -
Dan ketika semua itu membuat ibu Beatrice harus mengadu pada sang
penyair, sang penyair mencoba membantu Mario. Ada satu kata dari Nerudo yang
membuatku cukup baper. Hohoho.
“Puisi menjadi milik siapa yang menggunakannya, bukan siapa yang
menulisnya.” – hal. 80 -
Setelah itu sebenarnya aku agak sedikit tidak paham, disebabkan aku tidak tertarik kalau ceritanya mengenai konflik perpolitikan. Jadi, aku membacanya skip-skip walaupun di beberapa bagian aku masih mengangumi kesabaran di Mario dalam mengumpulkan informasi keadaan-keadaan saat itu untuk Nerudo.
Nerudo beberapa tahun kemudian memenangkan nobel sastra, dan Mario
sendiri entah diceritakan ke mana. Begitulah kira-kira endingnya yang aku
habiskan dengan tidak sabar, sebab harus segera ke kantor.
Komentar
Posting Komentar