Aku....
Satu lagi berita mengenai penolak
tambang yang dibunuh. Ini konflik agraria, tema pada proposal yang belakangan
ini aku dan tim kerjakan. Oh.. rasanya berita ini sudah tak sedikit di
kepalaku. Di ruang di mana sekarang aku menulis ini, ada satu file berisi kasus
yang tak jauh berbeda dengan itu. Kasus terbunuhnya warga Dayak di kalsel, yang
tiba-tiba saja ditembaki aparat polisi tanpa motif yang jelas. Kasus itu
mengambang, tak terselesaikan sebab keluarga mengampuni saja polisi itu dengan
uang damai.
Tiba-tiba saja aku tersadar, bahwa
aku sedang berada di sebuah dunia lain. Dunia yang biasanya hanya bisa kubaca
dari kalimat novel, kini berada di depan mata kepalaku sendiri. Bahkan berada
di tanganku, sebab aku bertugas untuk mengampanyekan terkait hal-hal seperti
itu. Pada detik ini, kupandangi kertas-kertas yang menempel di dinding
ruanganku. Di sana tergantung id card, bertulis namaku. Di bawahnya tertulis
pula sebuah jabatan yang sesungguhnya aku tak pernah mau mengakuinya.
Ini tidak mudah. Sungguh. Ini tidak
mudah. Di antara polemik manajemen kami yang kacau. Bentroknya para senior dan
sekretariat yang sekarang. Sesungguhnya ini tidaklah mudah. Maksudku, kau
bayangkan saja. Aku hanyalah seorang anak yang baru lulus kuliah, di mana
duniaku adalah dunia aman yang hanya perlu monitor, setumpuk buku dan secangkir
kopi. Tiba-tiba saja harus menduduki jabatan yang aku sendiri tak mampu untuk
mengembannya. berhadapan dengan kasus-kasus yang tak jauh berhubungan dengan mafia, preman, tambang dan sebagainya.
Jadilah aku dengan beban bertumpuk
di kepala, mencoba bersembunyi di balik akun sebuah lembaga. Tak hendak pula
mengatakan aku adalah M, seorang manajer kampanye PSD pada lembaga W. Tidak. Itu
tidak bisa kulakukan. Pengetahuanku, bahkan jiwaku tak seberani yang
seharusnya. Tetapi semua itu tiba-tiba harus kuhadapi, dan dibalik jabatan itu,
aku pun terpaksa membawa topeng selayaknya staf sok tahu saat direktur memberi
mandat,
“Da, tolong kau hadiri udangan
dikusi ini!”
Komentar
Posting Komentar